Malioboro Jogja Saat ini Terus Berbenah
Malioboro Jogja saat ini terus berbenah dalam semua aspek terutama sebagai salah satu tempat wisata di Jogja. Dulu tempat ini menjadi primadona di Jawa sehingga para handaitaulan bila saling menyapa, mengajukan pertanyaan khas di antara mereka. “Kapan terakhir ke Yogja? Kapan jalan-jalan di Malioboro lagi?” Tapi sekarang, orang sudah mulai merengek yang bukan-bukan, bila membicarakan Yogya, kalimat yang keluar semacam ini “Ada apaan di Yogja? Gimana Malioboro? Masih Asyik?”
Ini buah dari pembangunan yang tentu saja terkadang lupa tujuan, misalnya sebagaimana yang diungkap di dalam Jakarta Post, Pemerintah lokal Yogyakarta sangat membutuhkan investor dalam upayanya untuk merestrukturisasi Jln. Malioboro, terutama dalam rangka menghadapi kemacetan lalu lintas.
Isu Pembenahan Kawasan Jalan Malioboro
Seorang pejabatnya yakni kepala kontrol infrastruktur dan perencanaan tata ruang Yogyakarta Pembangunan Daerah Badan, Wahyu Handoyo pernah mengatakan, “Kami akan mengubah Malioboro menjadi kawasan pedestrian-friendly telah diarahkan oleh cetak biru wilayah dalam rangka untuk mewujudkannya, kita akan membutuhkan investor. Setelah penelitian ini dilakukan, kami akan menawarkan ke swasta model kerja sama sektor dalam reorganisasi daerah.”
Lantas, Wahyu mengatakan bahwa di antara isu-isu penting dalam mengubah kawasan Malioboro menjadi kawasan pedestrian-friendly adalah penyediaan tempat parkir yang memadai, serta revitalisasi Stasiun Tugu menjadi distrik bisnis dan area parkir.
Nah, kekhawatiran orang banyak tentang Malioboro pada masa lalu ketika Yogya adalah kota budaya, dengan pria dan santri bersarung dengan blankon, putri ayu dengan konde-konde seliweran, orang-orang yang tampak guyub dan bikin sejuk.
Berganti tentang gagasan revitalisasi di sana. Yang dalam pikiran bukan seorang ahli pun paham, “wah ini mah Mall baru”. Karena bercermin juga dengan kasus pembangunan Jalan Braga di Bandung yang konon pedestrian friendly, tetap pula menghadirkan beberapa pencakar langit di wilayahnya seperti keberadaan salah satu Mal dan hotel bintang lima.
Sejauh mana kedatangan modal besar itu akan mengubah Malioboro? Apakah menjadi jalannya para warga pelbagai kelas yang bermodalkan 10.000 untuk sekadar gorengan, angkringan, dan kaki lima yang menjadi pesona dari Malioboro. Atau lenyap ke dalam nuansa yang berbeda. Lebih glamor seperti Jalan Braga. Penuh festival yang diisi oleh para pedagang-pedagang kuat modal yang buka cabang, di sana.
Pedagang lokal? Belum tentu. Bisa jadi pedagang dari luar Indonesia, yang dengan membayar satu dua kertas, diperbolehkan membuka bidang usaha mudah, tanpa hipotek yang berarti.
Tinggalkan Balasan